POST TERBARU

Teknologi dalam Worldview Islam: Membumikan Pesan Illahi di Era Disrupsi (Abidah Khoirun Nizami)

  Teknologi dalam Worldview Islam: Membumikan Pesan Illahi di Era Disrupsi Pendahuluan Era disrupsi telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia. Perkembangan teknologi yang sangat pesat telah mengubah cara kita berinteraksi, bekerja, belajar, hingga beribadah. Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), big data, dan blockchain menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, di tengah kemajuan teknologi ini, muncul pertanyaan tentang bagaimana manusia, terutama umat Islam, harus menyikapi dan menggunakan teknologi dalam kehidupan mereka. Bagaimana kita bisa membumikan pesan Ilahi yang terkandung dalam ajaran Islam di tengah era yang penuh dengan tantangan ini? Dalam konteks ini, penting untuk melihat bagaimana worldview Islam—pandangan hidup yang dihasilkan dari keyakinan terhadap Tuhan dan wahyu-Nya—dapat memberikan landasan etis dan moral bagi penggunaan teknologi. Teknologi tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral dan spir...

MANUSIA ASTRONOT DARI PESANTREN

Oleh : Ustdz. Miftakhul Arif . M.HI

Astronaut+by+NASA+cropped+by+Immediate+Entourage2
Ust. Huda, begitu para santri menyapanya. Pria kelahiran Probolinggo ini merupakan guru Ilmu Tafsir di MA Unggulan K.H. Abd. Wahab Hasbulloh, sebuah lembaga pendidikan formal yang hingga hari ini tetap exis mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di lingkungan Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Bukan hanya Ilmu Tafsir, pria yang memiliki nama lengkap Syamsul Huda ini juga mengajarkan disiplin keilmuan lainnya seperti Bahasa Arab, Nahwu (Alfiyah), dan Tasawuf. Namun dari sekian banyak materi pelajaran yang  diampuh, Ilmu Tasawuf adalah materi pelajaran yang paling beliau sukai. Penguasaannya terhadap Ilmu Tasawuf bukan hanya dalam tataran teoritis, tapi juga praktis. Sirajut Talibin, sebuah kitab Ilmu Tasawuf karangan KH. Ihsan Jampes selalu akrab menemani keseharian beliau dalam mengajar. Nilai-nilai yang tertuang dalam kitab tersebut nampaknya cukup mempengaruhi keseharian beliau, khususnya dalam hal dzikir serta kepasrahan diri (tawakkal) kepada Tuhan.
Dulu sebelum simah (menikah), waktu beliau hampir kesemuaannya tercurahkan untuk santri. Santri yang mbeling beliau bimbing agar kembali ke jalan yang lurus, dan santri yang manut beliau arahkan agar mampu mengembangkan potensi yang dimiliki. Semenjak simah beliau tidak lagi menetap di asrama pondok. Meski demikian itu tidak mengurangi semangat beliau untuk mendidik para santri guna menjadi manusia seutuhnya yang solih dan bermanfaat bagi sesamanya. Ketulusan pengabdiannya itu terlihat jelas dari rutinitas keseharian yang beliau lakoni. Tiga hari di Tambakberas Jombang, dua hari di Probolinggo, dan dua hari di Pasuruan.
Jarak tempuh Probolinggo-Jombang tidaklah dekat, tidak kurang dari lima jam perjalanan. Dengan jarak tempuh yang jauh tersebut tentu membuat fisik terasa letih, belum lagi di tambah kondisi jalan yang macet, panasnya terik matahari di musim kemarau serta dinginnya udara yang menusuk tulang di musim hujan. Namun itu semua tidak memupuskan semangat pria yang juga Dosen STAI Bani Tayyib Pasuruan ini untuk terus berkhidmat kepada agama melalui jalur pendidikan madrasah dan pesantren. Perjalanan Probolinggo-Jombang yang sangat menguras tenaga itu setiap minggunya beliau tempuh dengan hanya mengendarai sepeda motor merk Smash keluaran 2004, tanpa kawan, tanpa kawalan, meninggalkan anak dan isteri tercinta. Hanya sesekali saja beliau berangkat dengan kendaraan umum jika fisik tidak memungkinkan untuk mengendarai sepeda motor.
Untuk meminimalisir dampak negatif perjalanan jauh, beliau selalu melengkapi diri dengan pakaian berlapis-lapis hingga menyerupai astronot. Penampilan yang unik serta ketahanan fisik yang beliau miliki sontak membuat rekan-rekan seperjuangannya menjuluki beliau sebagai ‘Manusia Astronot’, sebuah julukan unik yang kerap membuat beliau menertawakan dirinya sendiri. Apakah bisyaroh yang beliau terima sepadan dengan perjuangannya? Tentu anda sudah mengetahui jawabannya. Bagi guru-guru pesantren semisal beliau, kesuksesan santri yang pernah diajar sudah cukup mengobati rasa letih selama mengajar. Tak ayal, bagi kebanyakan santri, memiliki guru orang pesantren adalah suatu kebanggaan tersendiri. Itulah mengapa Saifuddin Zuhri menulis novel berjudul ‘Guruku Orang-Orang Pesantren’, sebuah novel yang banyak mengisahkan sepak terjang guru-guru di Pesantren. Untuk mengapresiasi dedikasi Ust. Huda, beberapa orang santri yang beliau didik di Tambakberas mendirikan Group al-Banjari yang bernama ‘Harisul Huda’. Kata ‘Haris’ diadopsi dari nama Ust. Abdul Haris, guru MAWH rekan seperjuangan Ust. Huda, dan kata ‘Huda’ sendiri diadopsi dari nama Ust. Syamsul Huda.
Dedikasi Ust. Huda terhadap dunia pendidikan tidak diragukan lagi, untuk itu di Kampungnya beliau diamanahi menjadi Kepala Madrasah Ibtidaiyah Roudlotul Islamiyah yang waktu itu hampir sekarat. Bagaimana tidak, waktu beliau dinobatkan menjadi orang nomor satu di lembaga tersebut, tercatat hanya tinggal sembilan belas orang siswa yang masih aktif sekolah. Tidak hanya itu, dari segi bangunan pun sekolah tersebut sudah tidak layak pakai, guru-guru yang ada kesejahteraannya juga cukup memperihatinkan. Namun, berkat semangat juang yang tak pernah pupus, serta ketulusan dalam mengabdi, maka pertolongan Tuhan pun datang. Tidak butuh waktu lama, dua tahun menahkodai Madrasah Ibtidaiyah Roudlotul Islamiyah, banyak terobosan-terobosan yang berhasil beliau lakukan. Jumlah siswa yang dulunya hanya tinggal sembilan belas orang kini meningkat menjadi delapan puluh orang. Gedung yang dulunya mengenaskan, kini sudah mulai tertata. Guru yang dulu nasibnya tidak jelas, secara perlahan kini sudah mulai bisa menghirup udara segar. Siswa yang dulunya miskin prestasi, kini sudah mulai menjadi langganan prestasi. Sebuah capaian yang sangat membanggakan.
Bagaimana beliau bisa melakukan semua itu? Tidak lain dengan kerja keras, kerja cerdas serta dengan memberikan sebuah keteladan yang hari ini cukup langka kita mendapatinya. Beliau adalah Kepala Madrasah yang tidak berorientasi pada materi, bisyarah selama dua tahun sama sekali belum pernah beliau ambil. Beliau juga tidak segan memegang sabit, lalu memotong rumput-rumput liar yang tidak sedap dipandang mata. Di hari ahad, saat guru lain sedang berlibur, justeru beliau bersama isteri dan buah hatinya menyapu dan mengepel ruang sekolah yang tepat berada di samping rumahnya. Sebuah keteladanan yang tidak semua orang mampu menirukannya. Prestasi terbesar beliau adalah semangat, kesungguhan dan ketulusan beliau dalam melakukan pengabdian. Beruntunglah bagi kita semua yang pernah mengenyam pendidikan dari beliau, ‘Manusia Astronot’ yang sangat langka. Kita doakan, semoga beliau beserta keluarga senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah SWT. Amien
Jombang, 22 Januari 2014

Komentar

POPULER

Sahabat Itu??

PEMIKIRAN MODERN ISLAM IMAM KHOMEINI

Memilih Bertahan