Jurusan : Manajemen Dakwah
Matkul : Filsafat
Dakwah
NIM : 1154030001
Beginilah Dakwah : Antara Doktrin
dan Realitas
Doktrin
berasal dari bahasa inggris yaitu doctrine yang berarti ajaran. Oleh
karena itu, doktrin lebih dikenal dengan ajaran-ajaran yang absolut yang tidak
boleh diganggu gugat. Pengertian yang sama juga dapat ditemukan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, yaitu “ Doktrin adalah ajaran atau asas suatu aliran
politik, keagamaan; pendirian segolongan ahli ilmu pengetahuan, ketatanegaraan
secara bersistem, khususya dalam penyususnan kebijakan negara”. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin merupakan ajaran-ajaran atau asas
untuk mendirikan suatu agama atau organisasi-organisasi yang ajaran-ajarannya
bersifat absolut dan tidak bisa diganggu gugat.
Sedangkan
realitas atau kenyataan, dalam bahasa sehari-hari berarti “ hal yang nyata;
yang benar-benar ada”. Dalam pengertiannya yang sempit dalam filsafat barat,
ada tingkat-tingkat dalam sifat dan konsep realitas.
Sebut saja dia
Akhi, mahasiswa tingkat 2 di salah satu universitas negeri di Bandung. Beberapa
bulan terakhir, Akhi mulai beraktifitas dengan lembaga dakwah di kampusnya.
Banyak yang berubah dari kesehariannya. Tidak hanya teman-teman, orang tua pun
terutama Ibunya merasakan ada yang berbeda dari dirinya. Akhi yang kini,
bukanlah yang dulu lagi. Akhi kini menjadi orang yang lebih rajin ke masjid
untuk berjama’ah, lebih senang membaca Al-Qur’an, shalat malam dan puasa senin
kamis tak pernah ditinggalkannya bahkan sudah menjadi kebiasaan rutinnya. Sekarang
waktunya tersita habis mengejar kajian-kajian dan memperdalam wawasan
keislaman. Tidak sampai disitu, Akhi kini sungguh berubah, pergaulannya sangat
dibatasi. Kini Akhi hanya mau bergaul dengan mereka-mereka yang se-komunitas
kajian dengannya. Akhi kini telah berubah menjadi manusia yang eksklusif yang
cenderung menutup diri dari lingkungannya.
Cerita
singkat diatas, hanyalah sebagian kecil dari akibat doktrin dakwah dan termasuk
cerminan realita yang terjadi dengan para aktivis dakwah sekarang. Di usia
dakwah yang masih begitu hijau terkesan sangat eksklusifme yang kental.
Fenomena eksklusif itu bukanlah lagi perkara aneh, tidak hanya dunia kampus
tetapi juga terjadi di masyarakat. Doktrin dakwah kini merajalela dimana-mana,
dengan adanya kajian-kajian Islam dan berpakaian yang sesuai syari’at islam
menurut “mereka”. Semua ini berakar dari persepsi-persepsi tentang masyarakat
yang selama ini dianggap tersesat pada kejahiliyahan modern. Hal tersebut
kemudian menyebabkan banyak aktivis dakwah membangun tabir pemisah antara
“mereka” dan lingkungan. Menjadikan “mereka” mendirikan komunitas suci sendiri,
yang dihuni oleh manusia-manusia bak malaikat.
Ketika
seseorang telah bersinggungan dengan aktivis dakwah, entag kenapa kesan
superioritas tiba-tiba melekat pada dirinya. Merasa seakan-akan yang tidak
pantas berbuat salah dan dosa, dan tak ingin terinfeksi virus-virus jahiliah modern yang melanda umat dewasa ini.
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana jadinya dakwah ini? Bagaimana sebagai
aktivis dakwah di masyarakat kelak? Ketika seseorang penggerak dakwah membatasi
dirinya dengan objek dakwah (mad’u), ketika aktivis dakwah terjebak doktrinan
komunitas sucinya bagaimana kelak kita akan memperkenalkan dakwah kepada
masyarakat. Bukankan sejatinya dakwah adalah bagaimana menyeru manusia ke agama
Islam dengan benar. Bukan Islam untuk golongan atau Islam untuk komunitas.
“
Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati
sebagai orang kerdil. Tapi orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai
orang besar dan mati sebagai orang besar” ( Sayyid Quthub ).
Referensi
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online
Nasr, Sayyed Hosen. 2003. Islam, Agama, Sejarah dan Peradaban.
Surabaya: Risalah Gusti
Komentar
Posting Komentar