BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mathla’ul Anwar adalah Ormas Islam tertua pituin lahir di tanah
Jawa Barat. Jika, NU lahir di Tebuireng Jawa Timur, Muhammadiyah di Jawa
Tengah, maka Mathla’ul Anwar di Banten Jawa Barat. Mathla’ul Anwar mengemban
amanat perjuangan mengangkat dan membangkitkan umat dari lembah kegelapan dan
kemiskinan yang menimbulkan keterbelakangan, tidak cukup sekedar dengan
mengadakan pengajian bagi generasi tua saja. Untuk itu dituntut langkah lebih
lanjut lagi, yaitu lahirnya generasi berikutnya yang justru merupakan sasaran
utama yang diharapkan mampu mengubah situasi (min al zhulumati ila al nur).
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pola, strategi dan peta dakwah Mathla’ul Anwar ?
C.
Tujuan
a.
Untuk
mengetahui pola dakwah Mathla’ul Anwar
b.
Untuk
mengetahui strategi dakwah Mathla’ul Anwar
c.
Untuk
mengetahui peta dakwah Mathla’ul Anwar
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tujuan didirikannya Mathla’ul Anwar
Tujuan didirikannya Mathla’ul Anwar ini adalah agar ajaran Islam
menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka disepakati untuk menghimpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam,
mendirikan madrasah, memelihara pondok pesantren dan menyelenggarakan tabligh
ke berbagai penjuru tanah air .
B.
Visi dan Misi Mathla’ul Anwar
Visi : “ Terwujudnya
Mathla’ul Anwar sebagai Organisasi Keagamaan yang Agamis, Dinamis, Kreatif, Mandiri
dan Sejahtera”.
Misi :
a.
Mewujudkan
Konsolidasi Organisasi dan Peningkatan kinerja sumber daya Manusia dan Sumber
Daya Organisasi.
b.
Merevitalisasi
Lembaga Pendidikan dan Dakwah Sebagai Ujung tombak Perjuangan mewujudkan
Nilai-nilai Islami dan Kejuangan Mathla’ul Anwar dalam Kehidupan Masyarakat
Jawa Barat yang Dinamis dan Agamis.
c.
Mengembangkan
Lembaga dan Sumber Daya Ekonomi dan Sosial Mathla’ul Anwar yang Responsif,
Kreatif dan Berdaya Saing.
d.
Menjadikan
Mathla’ul Anwar sebagai Mitra Sejajar dengan Ormas-Ormas Islam besar Lainnya.
C.
Pola Dakwah Mathla’ul Anwar
Sebagaimana pengertian aslinya bahwa pola adalah bentuk atau model
(atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau
untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu, khususnya jika sesuatu yang
ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat
ditunjukkan atau terlihat, yang mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola.
Deteksi pola dasar disebut pengenalan pola.
Dengan demikian pola dakwah umat Islam seyogyanya merujuk pada pola
dakwah Nabi Muhammad Saw. Begitupula seluruh ormas Islam di Indonesia termasuk
Mathla’ul Anwar berupaya menduplikasi gerakan dakwah yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad Saw, para nabi sebelumnya, para sahabat dan tabi’in tentunya dalam
warna keindonesiaan. Sehingga pola dakwah MA lebih kental dengan pendekatan
kultural sistemik. Yaitu sebuah pendekatan yang dilaksanakan oleh para founding
father MA dengan mengedepankan harmonisasi antara agama dan budaya Indonesia
untuk diarahkan pada peningkatan kualitas pendidikan dan ekonomi umat. Bentuk
konkret pola kultural sistemik ini terdapat pada khittah MA. Yang dimaksud
dengan Khittah Mathla’ul anwar adalah garis-garis yang dijadikan landasan oleh
Organisasi Mathla’ul Anwar dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Ormas
Islam yang bergerak dalam bidang Pendidikan, Dakwah dan Sosial.
D.
Strategi Dakwah Mathla’ul Anwar
Masalah strategi ditentukan oleh kondisi obyektif komunikan dan
keadaan lingkungan pada saat proses komunikasi tersebut berlangsung. Dalam
kegiatan dakwah, maka hal-hal yang mempengaruhi sampainya pesan dakwah
ditentukan oleh kondisi obyektif obyek dakwah dan kondisi lingkungannya dengan
demikian maka strategi dakwah yang tepat ditentukan oleh dua faktor tadi.
Sekedar contoh: antara orang desa dan kota tentu berbeda metode penyampaian
pesan yang dipakai. Demikian pula antara petani, pegawai, mahasiswa, sarjana,
anak-anak, remaja, dewasa, orang tua, wanita, buruh, orang miskin dan orang
kaya dan lain sebagainya.
Sedangkan masalah isi atau substansi pesan ditentukan oleh seberapa
jauh relevansi atau kesesuaian isi pesan tersebut dengan kondisi subyektif
komunikan, yaitu “needs” (kebutuhan) atau permasalahan mereka. Dalam dakwah
perlu diketahui kebutuhan apa yang mereka rasakan, dan seberapa jauh pesan
dakwah dapat menyantuni kebutuhan dan permasalahan tersebut. Relevansi antara
isi pesan dakwah dengan kebutuhan tersebut hendaknya diartikan sebagai
ketersantunan yang proporsional, artinya pemecahan masalah atau pemenuhan
kebutuhan yang tidak asal pemenuhan, tetapi yang dapat mengarahkan atau lebih
mendekatkan obyek dakwah pada tujuan dakwah itu sendiri, dan bukan sebaliknya.
Untuk itu maka pengolahan pesan dakwah dari sumbernya (al-Qur’an dan Sunnah
Rasul) akan sangat menentukan.
Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai apa yang dimaksud
dengan relevansi tersebut, maka baiknya dikemukakan beberapa contoh. Bagi
petani, bagaimana bertani yang baik sehingga hasil pertaniannya meningkat dan
bagaimana peningkatan tersebut sekaligus merupakan bagian dari ibadahnya kepada
Allah. Demikian pula bagi buruh, sehingga peningkatan mutu kerjanya sama dengan
mutu ibadahnya. Hal ini akan mendorong mereka untuk lebih memahami bagaimana
beribadah dengan baik akan membantu mereka untuk memperoleh pendapatan yang
lebih baik. Sudah barang tentu da’i yang bertugas di kalangan buruh atau petani
atau lainnya haruslah mereka yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai
dunia buruh dan tani.
Program dakwah yang dilakukan para ormas Islam termasuk MA saat
ini, “seolah-olah” belum dilakukan dengan manajemen yang baik. Hal ini dapat
dilihat dari efektivitas program dakwah yang dilakukan belum maksimal
dilakukan. Oleh karena itu peranan fungsi manajemen dalam kegiatan dakwah
mutlkak dilakukan, peran dari unsur-unsur perencanaan, pengorganisasian, penggerakan
sampai dengan tahap evaluasi semestinya sudah diterapkan dalam organisasi
dakwah.
Di lain pihak program dakwah yang dilakukan oleh dunia
pertelevisian pada saat ini masih mengedepankan unsur entertaint,-program
dakwah lebih dilihat dari unsur bisnis dan hiburan-. Unsur hiburan yang lebih
tonjolkan daripada muatan dakwah itu sendiri, seperti bukannya tidak boleh,
hiburan itu perlu tapi harus proporsional. Dakwah sebagai gerakan pencapaian
khairu al- ummah, perlu ada gerakan yang terencana secara sistematis, dan
terstruktur sehingga dakwah ke depan menjadi jelas tujuan, wujud, metode,
kurikulum-jika kita pinjam istilah pendidikan-atau bahkan dakwah berbasis
riset.
Riset atau penelitian dan pengembangan (litbang—bukan sulit
berkembang) adalah strategi mutaakhir (kontemporer) yang diyakini mampu
mengelola proses dakwah berbasis data. Pada gilirannya data yang dimiliki akan
mudah untuk dianalisa di-peta-kan dan dikelola oleh pengurus dalam hal ini
Pimpinan Wilayah Mathla’ul Anwar. Sehingga dakwah dengan perencanaan yang
matang akan memudahkan untuk melakukan evaluasi dan monitoring kegiatan dakwah
itu sendiri. Dengan adanya perencanaan secara bertahap capaian kegiatan dakwah
harus merupakan proses sosial yang mengarah kepada capaian kualitas hidup yang
semakin mendekati idealitas keislaman. Sehingga pada akhirnya kegiatan dakwah
itu akan terasa manfaatnya oleh masayarakan luas baik yang menyangkut
kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan dan peningkatan kecerdasan
intelektual, emosional, spiritual seta kualitas pemahaman umat tentang
keislaman yang semakin kaffah.
Dakwah merupakan aktualisasi atau realisasi salah satu fungsi
kodrati seorang muslim, yaitu fungsi kerisalahan berupa proses pengkondisian
agar seseorang atau masyarakat mengetahui, memahami, mengimani dan mengamalkan
Islam sebagai ajaran dan pandangan hidup (way of life). Hakikat dakwah adalah
suatu upaya untuk merubah suatu keadaan menjadi keadaan lain yang lebih baik
menurut tolok ukur ajaran Islam sehingga seseorang atau masyarakat mengamalkan
Islam sebagai ajaran dan pandangan hidup. Dengan kata lain tujuan dakwah,
setidaknya bisa dikatakan, untuk mempertemukan kembali fitrah manusia dengan
agama atau menyadarkan manusia supaya mengakui kebenaran Islam dan mengamalkan
ajaran Islam sehingga benar-benar terwujud kesalehan hidup.
Oleh karena itu, gerakan dakwah perlu untuk menggunakan teknik
perencanaan yang matang sebelum gerakan dakwah yang penuh dengan kebaikan
tetapi tidak dijalankan dengan program yang terencana, atau dengan istilah
gagal dalam perencanaan sama dengan merencanakan kegagalan atau kebatilan yang
teroganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak teroganisir atau dengan kata
lain terencana.
E.
Metode Dakwah
Dalam rangka mengembangkan strategi dan perencanaan dakwah (baik
yang menyangkut model pendekatan atau dialog, model komunikasi, metode, dan
media; maupun yang menyangkut isi atau pesan dakwah).
Saefudin Anshary mengatakan untuk metode dakwah dalam arti luas
mencakup strategi, taktik, dan teknik dakwah, metode umum dakwah Islam menurut Al-Qur’an
terdiri atas :
a.
Surat
An-Nahl: 125 yang menjelaskan tiga metode yakni bi al hikmah, dengan
hikmah, wal mau izhatil hasanah dengan nasihat yang baik, wal mujadalah
bil lati hiya ahsan, degan diskusi yang lebih baik lagi,
b.
Surah
Jumu’ah: 2 yakni dengan membacakan (yatlu ‘alaihim ayatihi), menyucikan (yuzkakkihim),
mengajarkan al-kitab dan al-hikmah (yu’alllimu nahum al-kitaba wal hikmah). Meminjam
istilah Saefudin Anshary tentang relasi antara prinsip, strategi, taktik bahkan
teknik perjuangan, tentunya dalam hal ini adalah pergerakan dakwah, ada tiga
fungsi yakni :
i.
Untuk
memenangkan taktik, maksudnya teknik yang tidak memenangkan taktik bukanlah
teknik yang tepat.
ii.
Untuk
memenangkan strategi. Taktik yang tidak memenangkan strategi bukanlah taktik
yang tepat.
iii.
Untuk
memenangkan dan menjayakan prinsip atau dasar dan tujuan asasi. Strategi yang
tidak memenangkan dan menjayakan prinsip bukanlah strategi yang tepat.
F.
Peta Dakwah Mathla’ul Anwar
Pengembangan Dakwah dikalangan Intra umat Islam (mad’u ijabah)
yaitu : Pengurus PWMA, PDMA 28 daerah,
PCMA 115 cabang dan PRMA 270 ranting, begitupun Muslimat MA dan Generasi Muda
MA (Gema MA).
Mathla’ul Anwar Jabar terlibat aktif dalam berbagai kegiatan dialog
antar umat beragama agar terjadi kerukunan antar umat beragama sekaligus
menjelaskan konsep-konsep Islam dengan harapan umat beragama tertarik terhadap
dinul Islam.
Ada urgensi yang cukup signifikan terkait dengan dakwah kultural
sistemik untuk Jawa Barat yang notabene Tatar Pasundan atau wilayah pasundaan.
Secara universal Rasulullah mengisyaratkan bahwa dakwah itu perlu memperhatikan
budaya dan kemampuan nalar masyarakat dengan kalimat khotibu al-nas ‘ala qadri
‘uqulihim kalimat ini berbicara pada aspek pendidikan. Namun tidak keliru jika
dikembangkan pada aspek yang tidak kalah penting yaitu ekonomi dengan kalimat:
khotibu al-nas ‘ala qadri buthunihim.
Jauh sejak MA berdiri tahun 1916 silam di Menes Pandeglang (saat
itu Jawa Barat) hingga berkembang ke Soreang dan Priangan, MA telah berkontribusi
positif melakukan dakwah kultural dan struktural dengan produk-produk yang
tidak asing seperti tahlilan, syukuran dan marhabaan sebagai tahap awal
pengenalan Islam agar akrab dengan tradisi Hindu sebelumnya (berbasis
buthunihim). Tentunya, dalam konteks kekinian dikembangkan dalam bentuk
pendirian dan pengelolaan koperasi syari’ah, lembaga-lembaga usaha dan berupaya
menciptakan dan menguasai pasar. Namun pada gilirannya, Mathla’ul Anwar tidak
tinggal diam, merasa perlu untuk meningkatkan kapasitas pendidikan umat Islam
dengan membangun madrasah dan Perguruan Tinggi Islam bahkan universitas. Inilah
yang dimaksud dengan dakwah berbasis ‘uqulihim).
Proses dakwah melalui pendidikan dan ekonomi ini diyakini dapat
berkembang di tanah Pasundan bersama Ormas Islam lainnya. Sehingga kelak
terwujud masyarakat Islam Jawa Barat yang Islami, thayyibah dan penuh berkah.
Aamiiin.
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Pola dakwah
umat Islam seyogyanya merujuk pada pola dakwah Nabi Muhammad Saw. Begitupula
seluruh ormas Islam di Indonesia termasuk Mathla’ul Anwar berupaya menduplikasi
gerakan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, para nabi sebelumnya,
para sahabat dan tabi’in tentunya dalam warna keindonesiaan. Sehingga pola
dakwah MA lebih kental dengan pendekatan kultural sistemik.
Masalah
strategi ditentukan oleh kondisi obyektif komunikan dan keadaan lingkungan pada
saat proses komunikasi tersebut berlangsung. Dalam kegiatan dakwah, maka
hal-hal yang mempengaruhi sampainya pesan dakwah ditentukan oleh kondisi
obyektif obyek dakwah dan kondisi lingkungannya dengan demikian maka strategi
dakwah yang tepat ditentukan oleh dua faktor tadi. Sekedar contoh: antara orang
desa dan kota tentu berbeda metode penyampaian pesan yang dipakai. Demikian
pula antara petani, pegawai, mahasiswa, sarjana, anak-anak, remaja, dewasa,
orang tua, wanita, buruh, orang miskin dan orang kaya dan lain sebagainya.
Pengembangan
Dakwah dikalangan Intra umat Islam (mad’u ijabah) yaitu : Pengurus PWMA, PDMA 28 daerah, PCMA 115
cabang dan PRMA 270 ranting, begitupun Muslimat MA dan Generasi Muda MA (Gema
MA).
Mathla’ul Anwar
Jabar terlibat aktif dalam berbagai kegiatan dialog antar umat beragama agar
terjadi kerukunan antar umat beragama sekaligus menjelaskan konsep-konsep Islam
dengan harapan umat beragama tertarik terhadap dinul Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan , Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episod Kehidupan
M. Natsir & Azhar Basyir. Yogyakarta: Sipress, 1996. hlm. 205
Saefudin Anshary, Wawasan Islam: Pokok-pokok pikiran tentang
paradigma dan sistem Islam,Gema Insani Press, Bandung, 2004, hlm. 188
Komentar
Posting Komentar